PENDIDIKAN PANCASILA
Judul
“PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA”
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila
Dosen Akademik : Robby Oktavianus M.,SC
Disusun Oleh:
- 1. Annisa Tri Hapsari 116 001
- 2. Aditya Prasetyo 116 034
- 3. Budi Setiawan 113 096
- 4. Dedy 116 017
- 5. Eling 116 041
- 6. Eka Rizki Amalia 113 079
- 7. Fatar Agape Lumban Tobing 113 132
- 8. Riswandi 116 014
PROGRAM STUDI TEKNIK
SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERITAS PALANGKA
RAYA
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyeselsaikan dengan kerja sama yang baik dan
kompak dan makalah ini berjudul
“Pancasila Sebagai Sistem Etika” dengan baik.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
Pa Robby Oktavianus M.,Sc selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan tugas
ini kepada kami, dengan ini kami bisa mengetahui dan mengerti arti Pancasila
sebagai Sistem Etika. Tak lupa kepada semua pihak yang bersangkutan, kami
ucapkan terima kasih karena telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini
dengan baik.
Makalah ini jauh dari kata sempurna maka
dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari pihak pembaca penulis
perlukan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca unutuk menambah
pengetahuan.
Nilai, norma, dan
moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya
dengan Pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling
melengkapi sebagai sistem etika.
Nilai-nilai tersebut
dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praktis atau kehidupan nyata dalam
masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam norma-norma yang kemudian
menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi :
1. Norma
Moral
Yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat
diukur dari sudut baik maupun buruk, sopan atau tidak sopan, susila atau tidak
susila.
2. Norma
Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam suatu tempat dan waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum.
Dalam pengertian itulahPancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber
hukum.
Dengan demikian,
Pancasila pada hakekatnya bukan merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat
normatif ataupun praktis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika
yang merupakan sumber norma.
Palangka Raya,28 September
2016
Penulis
DAFTAR ISI
Cover
........................................................................................................................................
i
Kata Pengantar ........................................................................................................................
ii
Daftar Isi
.................................................................................................................................
iii
BAB I. PENDAHULUAN
........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah
........................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulis
...................................................................................................................
2
BAB II. PEMBAHASAN
.........................................................................................
2.1. Pancasila
Sebagai Sistem Etika ..................................................................................... 2
2.2 Pemahaman
Konsep dan Teori Etika ............................................................................ 3
2.3. Pengertian
Nilai, Norma, dan Moral ........................................................................... 4
2.4. Pengertian
Nilai Dasar, Nilai Instrumental,dan Nilai Praktis .........................................
5
2.5. Aliran-aliran
Besar
Etika................................................................................................
9
2.6. Etika
Pancasila..................................................................................................................
9
2.7. Hubungan
Nilai, Norma, dan Moral ............................................................................
14
BAB III. PENUTUP
.............................................................................................
SARAN DAN KRITIK
............................................................................................................... 15
KESIMPULAN
.........................................................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA
.................................................................................................................
16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pancasila adalah sebagai dasar negara Indonesia yang memegang peranan
penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia salah satunya adalah
“Pancasila sebagai suatu sistem etika”. Di dunia internasional bangsa Indonesia
terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki etika yang baik, rakyatnya yang
ramah, sopan santun, dll.
Pancasila adalah suatu kesatuan yang
majemuk tunggal, setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sila
lainnya, diantara sila satu dan lainnya tidak saling bertentangan. Inti dan isi
Pancasila adalah manusia monopluralis yang memiliki un
sur-unsur susunan kodrat (jasmani
–rohani), sifat kodrat (individu-makhluk sosial), kedudukan kodrat sebagai
pribadi berdiri sendiri, yaitu makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila merupakan
penjelmaan hakekat manusia monopluralis sebagai kesatuan
Pancasila memegang peranan besar dalam
membentuk pola pikir bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat dihargai
sebagai salah satu bangsa yang beradab didunia .Kecenderungan menganggap acuh
dan sepele akan kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan dan di
tinggalkan, karena pancasila wajib diamalkan oleh warga Negara Indonesia.
Alasan lain karena bangsa yang besar
adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukan hal yang susah dan gampang
untuk dilakukan, karena etika berasal dari tingkah laku, perkataan, perbuatan,
serta hati nurani kita masing-masing.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Apa maksud dari Pancasila sebagai Sistem
Etika?
b. Bagaimana pemahaman konsep dan teori dari
etika?
c. Apa yang dimaksud dengan Nilai, Norma,
dan Moral yang terdapat dalam etika?
d. Apa yang dimaksud dengan Nilai Dasar,
Nilai Instrumental, dan Nilai Praktis?
e. Bagaimana hubungan Nilai, Norma, dan
Moral?
1.3 TUJUAN PENULIS
a. Untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pancasila yang diberikan oleh Dosen Pembimbing.
b. Untuk
mengetahui lebih dalam maksud dari Pancasila sebagai Sistem Etika.
c. Untuk memberikan informasi kepada
pembaca mengenai Pancasila sebagi Sistem Etika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
Etika adalah suatu ilmu yang
membahas tentang dan bagaimana kita dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran
moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Etika berkaitan dengan masalah
nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah- masalah yang berkaitan
dengan predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, ”baik” dan “buruk”.
2.1.1
Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus
merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang
falsafah, etika membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran
dan pandangan moral. Dan sebagai cabang ilmu, etika membahas bagaimana dan
mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu.
2.1.2 Etika sebagai ilmu dibagi dua, yaitu etika
umum dan etika khusus.
·
Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku
bagi setiap tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti di Cina
dan seperti dalam Islam, aliran-aliran pemikiran etika beranekaragam. Tetapi
pada prinsipnya etika umum membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan
manusia, serta sistem nilai apa yang terkandung di dalamnya.
·
Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual
dan etika sosial.
·
Etika indvidual membahas kewajiban manusia terhadap
dirinya sendiri dan dengan kepercayaan
agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggung
jawabnya terhadap Tuhannya.
·
Etika sosial di lain hal membahas kewajiban serta
norma-norma social yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia,
masyarakat, bangsa dan negara. Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang
lebih khusus lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika
lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika
seksual dan etika politik. Etika politik sebagai cabang dari etika sosial
dengan demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik,
yaitu bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan ( yang menganut
system politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok
masyarakat lain.
·
Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang
harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus
dipatuhi. Dan pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika
yang baik di negara ini. Disetiap saat dan dimana saja kita berada kita
diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila
ke dua “ kemanusian yang adil dan beadab” tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran
pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar. Setiap sila
pada dasarnya merupakan asas dan fungsi sendiri-sendiri, namun secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematik.
2.2 .PEMAHAMAN KONSEP DAN TEORI
ETIKA
Dari asal
usul kata, etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat
istiadat/kebiasaan yang baik. Perkembangan etika yaitu study tentang kebiasaan
manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda yang menggambarkan
perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Dan etika mempunyai arti yang
berbeda dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu.
Bagi ahli
falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut
Maryani Ludigdo (2001), etika adalah seperangkat nilai atau norma atau pedoman
yang mengatur perilaku manusia, baik yang haru dilakukan maupun ditinggalkan
yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.
Dalam
mengkaji masalah, etika terdiri dari 2 teori :
2.2.1 Teori
Konsekuensialis
Kelompok teori yang
konsekuensialis yang menilai baik buruknya perilaku mausia atau benar tidaknya
sebagai manusia berdasarkan konsekuensi atau akibatnya. Yakni dilihat dari
apakah perbuatan atau tindakan itu secara keseluruhan membawa akibat baik lebih
banyak daripada akibat buruknya atau sebaliknya. Teori ini mendasarkan diri
atas suatu keyakinan bahwa hidup manusia secara kodrati mengarah pada suatu
tujuan. Yang termasuk kedalam kelompok konsekuensalis dan teleologis adalah
teoori egoisme, eudaimonisme, dan utilarisme. Sesuai dari kata konsekuen yaitu
etika tersebut sesuai dengan apa yang dikatakannya dan diperbuatnya.
2.2.2 Teori
Non Konsekuensialis
·
Teori ini menilai baik buruknya perbuatan atau benar
salahnya tindakan tanpa melihat konsekuensi atau akibatnya, melainkan dengan
hokum atau standar moral. Teori ini juga disebut dengan etika deontologist
karena menekankan konsep kewajiban moral yang wajib ditaati manusia.
2.3
PENGERTIAN NILAI, NORMA, DAN MORAL
2.3.1 Nilai
(value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan
mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia.
2.3.2
Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud
kebudayaan di samping sistem sosial dan karya.
Pandangan
para ahli tentang nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat :
Alport
mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat dalam enam
macam, yaitu :
1). Nilai
teori
2). Nilai
ekonomi
3). Nilai
estetika
4). Nilai
sosial
5). Nilai
politik dan
6). Nilai
religi
ii.Max
Scheler, mengelompokkan nilai menjadi empat tingkatan, yaitu:
1). Nilai
kenikmatan
2). Nilai
kehidupan
3). Nilai
kejiwaan
4). Nilai
kerohanian
Notonagoro,
membedakan nilai menjadi tiga, yaitu :
1). Nilai
material
2). Nilai
vital
3). Nilai
kerokhanian
2.3.3 Nilai
berperan sebagai pedoman menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia
berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan
kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
2.3.4 Norma
adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, moral, religi, dan
sosial. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh
tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu norma dalam perwujudannya norma
agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma
memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi. Norma-norma yang
terdapat dalam masyarakat antara lain :
2.3.5
Norma agama : adalah ketentuan hidup masyarakat yang
ber- sumber pada agama.
2.3.6 Norma kesusilaan : adalah
ketentuan hidup yang bersumber pada hati nurani, moral atau filsafat hidup.
2.3.7 Norma hukum : adalah
ketentuan-ketentuan tertulis yang berlaku dan bersumber pada UU suatu Negara
tertentu.
2.3.8
Norma sosial : adalah ketentuan hidup yang berlaku
dalam hubungan antara manusia dalam masyarakat.
2.3.9 Moral berasal dari kata mos
(mores) yang sinonim dengan kesusilaan, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang
hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.
Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma-norma
yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak secara moral.
Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral
dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar,
baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai
dan norma yang mengikat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.4 PENGERTIAN NILAI DASAR, NILAI INSTRUMENTAL,DAN
NILAI PRAKTIS
2.4.1 Nilai
Dasar
Meskipun
nilai bersifat abstrak dan tidak dapat diamati oleh panca indra manusia, namun
dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku manusia. Setiap orang
miliki nilai dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam
dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar berifat universal karena karena
menyangkut kenyataan obyek dari segala sesuatu.
Contohnya
tentang hakikat Tuhan, manusia serta mahkluk hidup lainnya. Nilai dasar yang
berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada
hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan
hak dasar (hak asasi manusia). Dan apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada
hakikat suatu benda (kuatutas,aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu juga
dapat disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis.
Nilai Dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila
2.4.2 Nilai
Instrumental
Nilai
instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar.
Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi
serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental
itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari makan itu
akan menjadi norma moral. Namun apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan
suatu organisasi atau Negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu
arahan, kebijakan, atau strategi yangbersumber pada nilai dasar sehingga dapat
juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari
nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai
instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang
merupakan penjabaran Pancasila.
2.4.3 Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis
merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar.
2.5 ALIRAN – ALIRAN BESAR ETIKA
Dalam
kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan
keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai
apakah suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk.
2.5.1 Etika Deontologi
Etika
deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah
ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang
mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant menolak akibat
suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat
tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan
menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban
moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam
dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam
dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu
baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan
keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban
moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat
yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya
tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang
sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun.
Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari oleh
motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun
dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran
kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan
otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena
didasari oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik
bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk
melakukan perbuatan itu, dan tindakan
yang baik adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari
luar.
2.5.2 Etika Teleologi
Pandangan
etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk
suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika
teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila
dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban
yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika
teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik
meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika
bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka
memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban
mengenakan helm bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus
pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang
juga sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan
demikian etika teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa
kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan
yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah
baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika
teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
1) Egoisme
etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik
untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan
untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara
dan dirugikan.
2)
Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung
bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila
mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak
mungkin orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang
pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan
kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang,
karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian
kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma
yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki keragaman.
Namun setiap tindakan selalu dilihat apakah akibat yang ditimbulkan akan
memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak.
Kalau
tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan
merugikan maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika
utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap beragam alternatif
tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan
banyak orang. Utilitarians try to produce maximum pleasure and minimum pain,
counting their own pleasure and pain as no more or less important than anyone
else’s (Wenz, 2001: 86).
Etika
utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak
oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya,
karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun
demikian, juga memiliki kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam
kelemahan etika ini, yaitu:
(1) Karena
alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang
dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan
adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
(2) Dalam
kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang
kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material
seperti kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
(3) Karena
kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan
masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal
seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misalnya atas nama
memasukkan investor asing maka aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau
atas nama meningkatkan devisa negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang
menimbulkan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan
masyarakat.
(4)
Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam
jangka pendek, tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal,misalnya dalam
persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak
negatif pada masa yang akan datang.
(5) Karena
etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada
orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama
kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika
utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan
kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan
yang lebih banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari
kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu
utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka :
Pertama,
setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan
norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus
ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang besar.
Kedua,
kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang
non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dan
sebagainya.
Ketiga,
terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi
yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.
c. Etika
Keutamaan
Etika ini
tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada
penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada
pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan
tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral ini
dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh
para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang
di dalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh
masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang
majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep
keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan
menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan
etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada
figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri,
sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu
seperti apa.
2.6. ETIKA PANCASILA
Etika
Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran
besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan
karakter moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika
Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada
nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan dan Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila
tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan
mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun
merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan,
maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila
juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.
Etika
Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia. Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa
dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat
mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan
dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaedah dan hukum
Tuhan.Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan
yang melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan
hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk.Misalnya
pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antar
sesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaedah Tuhan untuk
melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain
Nilai yang
kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan
nilai-nilaiKemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai KemanusiaanPancasila adalah
keadilan dan keadaban. Keadilanmensyaratkan keseimbangan antara lahir dan
batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan
makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan
keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan
benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
Nilai yang
ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat
memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan
perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat
mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila
ke-1), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan
maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik. Nilai
yang keempat adalah Kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung
nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan.
Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai
kebaikan tertinggi.
Atas nama
mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas.
Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila
pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata
tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang
secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas
“dimenangkan” atas pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu
baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik
jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang
kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka
kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai
keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan
dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak.
Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap
pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas
dan sama derajatnya dengan orang lain.
Menilik
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi
sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat
mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi
dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia
yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam
istilah Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal,
yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan
merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain.
Sebagai contoh, nilai Ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas,
ketaatan, dan toleransi. Nilai Kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan,
tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai
Persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dan lain-lain. Nilai
Kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain
Nilai Keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan
bersama dan lain-lain.
7.MAKNA NILAI-NILAI
SETIAP SILA PANCASILA
Pancasila
sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan nilai
yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini
dikarenakan apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja
ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada
nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami
nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut
ini kita uraikan :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila
lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah
pengejawantahan tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa.
Konsekuensi
yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam kaitannya
dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) bahwa setiap warga negara
memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan
keimanan dan kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29
UUD. Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang
meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan (atheisme).
2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusian
berasal dari kata manusia yaitu makhluk yang berbudaya dengan memiliki potensi
pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia pada
tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma.
Kemanusiaan terutama berarti hakekat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan
martabat. Adil berarti wajar yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban
seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun, berbudi luhur, dan susila,
artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa berdasarkan pada
nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan demikian, sila
ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada
potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan
umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan
hewan.
Hakekat
pengertian di atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama :”bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan ...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya
dalam Batang Tubuh UUD.
3) Persatuan Indonesia
Persatuan
berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu
kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam
arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan
Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang
bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam
wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor
yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan bertujuan melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.
Persatuan
Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena
itu, paham kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai
bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta
keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi, ” Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD
1945.
4) Kerakyatan
Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Kerakyatan
berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu
wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia
menganut sistem demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam
hirarki kekuasaan.
Hikmat
kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan
dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan
itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara
khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal
berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat dan mufakat.
Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara mengusahakan turut
sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga
perwakilan.
Dengan
demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas
kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusan. Sila ini merupakan sendi asas
kekeluargaan masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan
Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi :”...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat ...”
5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia
Keadilan
sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti
untuk setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia.
Pengertian
itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena keadilan
sosial pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia
sebagai pribadi dan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya
meliputi :
a) Keadilan distributif yaitu suatu hubungan
keadilan antara negara dan warganya dalam arti pihak negaralah yang wajib
memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan,
subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan
kewajiaban.
b) Keadilan legal yaitu suatu hubungan
keadilan antara warga negara terhadap negara, dalam masalah ini pihak wargalah
yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam negara.
c) Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan
keadilan antara warga atau dengan lainnya secara timbal balik. Dengan demikian,
dibutuhkan keseimbangan dan keselarasan diantara keduanya sehingga tujuan
harmonisasi akan dicapai. Hakekat sila ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945
yaitu :”dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia ... Negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
2.7 HUBUNGAN NILAI, NORMA, DAN MORAL
Nilai,
norma dan moral langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan yang cukup
erat, karena masing-masing akan menentukan etika bangsa ini. Hubungan antarnya
dapat diringkas sebagai berikut :
Nilai:
kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (lahir dan batin).
-
Nilai bersifat abstrak hanya dapat dipahami,
dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan dengan
harapan, cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu pertimbangan batiniah manusia
-
Nilai dapat juga bersifat subyektif bila diberikan
olehs ubyek, dan bersifat obyektif bila melekat pada sesuatu yang terlepasd
arti penilaian manusia
Norma:
wujud konkrit dari nilai, yang menuntun sikap dan tingkah laku manusia. Norma
hukum merupakan norma yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan
oleh suatu kekuasaan eksternal, misalnya penguasa atau penegak hukum.
Nilai dan
norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika.
Makna moral yang terkandung dalam kepribadian
seseorang akan tercermin pada sikap dan -tingkah lakunya. Norma menjadi
penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Moral dan etika sangat erat hubungannya.
Keterkaitan nilai, norma dan moral
merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetapterpelihara di setiap waktu pada
hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak di garis bawahi bila
seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki pondasi yang kuat
tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna
menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikonkritkan dan diformulakan
menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam
aktivitas sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan moral
maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan
martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang
mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau
seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam
pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang
memberikan ajaran moral.
BAB III
PENUTUP
·
Demikian penulisan makalah tentang Pancasila Sebagai
Sistem Etika.
·
Harapan penulis semoga penulisan makalah ini
bermanfaat dan menambah pengetahuan penulis khususnya kepada para pembaca pada
umumnya.
SARAN DAN KRITIK
Saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis perlukan dari pembaca untuk memperbaiki makalah ini
yang jauh dari kata sempurna.
KESIMPULAN
Simpulan dari hasil pembelajaran
penulis selama penyusunan makalah ini, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut :
Pendukung dari Pancasila sebagai sistem
etika adalah Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika
yang baik di negara ini. Di setiap saat dan dimana saja kita berada kita
diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti yang tercantum di
sila ke dua pada Pancasila, yaitu “Kemanusian yang adil dan beradab” sehingga
tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa
ini sangat berandil besar. Dengan menjiwai butir-butir Pancasila masyarakat
dapat bersikap sesuai etika baik yang berlaku dalam masyarakat maupun bangsa
dan negara.
DAFTAR PUSTAKA
http://sintadevi597.blogspot.co.id/2016/03/makalah-pancasila-sebagai-sistem-etika.html
http://budisma1.blogspot.com/2011/07/pancasila-sebagai-sistem-etika.html
http://septianludy.blogspot.co.id/2014/07/pancasila-sebagai-sistem-etika_8.html
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna
(Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila), PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Pertahanan dan Keamanan, :http://www.harypr.com/
PSP UGM dan Yayasan TIFA, Pancasila
Dasar Negara Kursus Presiden Soekarno tentang Pancasila, Edisi ke 1, Cetakan ke
1, Aditya Media bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila (PSP), Yogyakarta dan
Yayasan TIFA Jakarta
Saksono. Ign. Gatut, 2007,
Pancasila Soekarno (Ideologi Alternatif Terhadap Globalisasi dan Syariat Islam),
CV Urna Cipta Media Jaya
Syarbaini, Syahrial, 2012,
Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa) di Perguruan
Tinggi, Ghalia Indonesia, Bogor.
Undang-Undang No 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi
No comments:
Post a Comment